Fatwa MUI nomor 33 Tahun 2018 Mengenai Vaksin MR (Measles Rubella) Yang Kamu Harus Tau

Fatwa MUI nomor 33 Tahun 2018 Mengenai Vaksin MR (Measles Rubella) Yang Kamu Harus Tau
Alhamdulillaah, akhirnya fatwa MUI telah keluar. Meskipun fatwa ini ibarat mata uang dengan dua sisi. Alias bisa jadi 'senjata' provaksin, tapi sekaligus senjata antivaksin, tergantung memandang pada sisi mana. Tapi di sini bedanya. Provaksin membaca fatwa secara utuh. Sementara antivaksin hanya akan mengambil fatwa sepotong di bagian 'Haram'. 
Ada beberapa hal yang harus diluruskan dalam hal ini.

1. Apakah benar vaksin MR MENGANDUNG unsur babi?
Perhatikan fatwa MUI tidak menyebutkan 'MENGANDUNG' tapi 'DALAM PROSESNYA MELIBATKAN UNSUR BABI'. 
Melibatkan dalam proses tidak menjadikan produk akhir mengandung babi (sebagaimana hasil uji lab terlampir yang menyatakan vaksin MR tidak mengandung babi). Karena pada pembuatan vaksin juga terjadi istihalah dan juga melibatkan proses ultrapurifikasi, yaitu pencucian milyaran kali.

Jika memang dalam proses disebutkan melibatkan unsur dari babi, dalam box vaksin biasanya akan dicantumkan sebagaimana vaksin combo yang diboxnya ditulis pada proses pembuatannya bersinggungan dengan unsur dari babi. Kemungkinan ketersinggungan ini bukan pada tripsin karena penggunaan DNA rekombinan, tapi pada gelatin (salah satu eksipien vaksin MR).

India sendiri karena mayoritas beragama hindu, memperkenalkan UU pembantaian anti-sapi yang ketat oleh pemerintah Maharashtra dan Haryana, sehingga beberapa perusahaan farmasi di India takut mendapatkan masalah. Bahkan penyembelihan sapi bisa diancam penjara 5-10 tahun di sana.
https://economictimes.indiatimes.com/news/politics-and-nation/gelatine-in-capsules-vitamin-drugs-manufactured-from-bones-skin-tissue-of-cattle-say-pharma-cos/articleshow/46669729.cms. Sementara gelatin pada umumnya diproduksi dari tulang sapi (bovine) atau tulang babi (porchine).

2. Lantas apa hukum gelatin/tripsin yang terbuat dari bagian babi?
Gelatin maupun tripsin yang terbuat dari bagian babi mengalami proses istihalah (transformasi) alias perubahan bentuk di mana proses akhirnya tidak lagi sama sebagaimana bentuk awalnya sehingga tidak lagi dihukumi sebagaimana babi. Sebagaimana cuka yang pembuatannya berasal dari wine (haram) dihukumi halal ketika bertransformasi secara alami sehingga karakteristiknya tidak lagi sama.

Ulama-ulama dunia sendiri menerima istihalah pada penggunaan gelatin / tripsin babi pada vaksin, dan menyatakan kehalalan dzat yang telah mengalami istihalah dalam vaksin. Itulah sebabnya di negara-negara Islam yang lain, halal haram vaksin tidak seheboh di Indonesia. Ulama-ulama di negara muslim lain bahkan telah melakukan konferensi dengan WHO membahas masalah istihalah ini sejak lama dari tahun 2001, sebagaimana didokumentasikan di link ini:
http://www.immunize.org/talking-about-vaccines/porcine.pdf
Konferensi ini dihadiri 112 ulama dan ahli dari berbagai penjuru dunia yang membahas, menyetujui lalu menandatangi fatwa HALAL-nya gelatin yang berasal dari babi pada vaksin, di antaranya:
  1. Syaikh Muhammad Sayed Tantawi (Universitas Islam Al-Azhar, Cairo)
  2. Syaikh Mohammad Al Mokhtar Al Sallami (Tunisia)
  3. Syaikh Mohammad Ibn Hammad Al Khalily (Oman)
  4. Syaikh Mohammad Al Habiib Ibn Al Khojah (Islamic Fiqh Academy, Jeddah)
  5. Dr. Yusuf Al Qaradawy (Qatar)
  6. Syaikh Mohammad Rashid Qabani (Libanon)
  7. Syaikh Muhammad Taqi Al Osmani (Pakistan)
  8. Syaikh Dr. Hamid Gami'I (Universitas Islam Al-Azhar)
  9. Syaikh Dr. Khalid Al Mazkour (Kuwait)
  10. Syaikh Khalil Al Miis (Mufti Al Biqa'i, Libanon)
  11. Syaikh Dr. Ajil Jassim Al Nashmi (Kuwait)
  12. Dr. Mohammad Abdul Ghaffar Al Sharif (Kuwait)
  13. Dr. Wahba Al Zuhayli (Syria)
  14. Syaikh Mashaal Mubarak Al Sabah (Kuwait).
  15. dan masih banyak lagi (nama terlampir di postingan)
Selain itu beberapa ulama besar Saudi, diantaranya: Syaikh Abdul Aziz alu sheikh (Mufti Arab Saudi), Syaikh Abdul Aziz ibn Baz (saat menjabat ketua Al Lajnah Ad Daimah il Ifta, ketua MUI-nya Saudi), demikian juga Syaikh Abdul Muhsin al 'Abad Al Badr (pengajar tetap Masjid Nabawi) juga putra beliau dosen/guru besar di Univ. Islam Madinah, Syaikh Abdur Razzaq ibn Abdul Muhsin al 'Abad Al Badr, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid (Imam masjid dan khatib di Masjid Umar bin Abdul Aziz di kota al Khabar KSA dan dosen univ. syariah, pengasuh situs www.islam-qa.com).
Demikian juga dengan Majlis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian juga memutuskan bahwa istihalah dari produk yang pada prosesnya melibatkan unsur haram lalu pada produk akhirnya telah berubah maka hukumnya adalah halal.
https://www.e-cfr.org/23rd-ordinary-session-european-council-fatwa-research/

Sedangkan MUI sendiri sebenarnya letak masalahnya ada pada penolakan intifa' (pemanfaatan) benda haram, sehingga ketika produk akhir tidak terdapat zat haram lagi maka akan tetap dihukumi haram karena pada prosesnya melibatkan unsur haram. Padahal dalam kaidah intifa’ yang diharamkan sebenarnya adalah pelakunya (produsen) sedangkan konsumen yang memakai cukup merefer pada produk jadi, alias menghukumi secara zahirnya. Jika produk akhir tidak terdapat zat haram, maka hukumnya halal. Kaidah fiqih dalam hal ini:
"Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh dengan berjual beli secara halal misalnya)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2, Syaikh Utsaimin)".
Namun di sinilah dilemanya, karena SH (sertifikat halal) tidak sekedar memberikan jaminan produk halal bagi konsumen, tapi juga memberikan jaminan halal pada produsen, padahal dalam hal ini SSI (India) sebagai produsen sebenarnya sama sekali tidak butuh dijamin sebagai produsen yang memproses dengan cara yang halal, karena mereka non muslim.

Karena dilema inilah akhirnya vaksin difatwakan MUBAH, yang artinya boleh dipakai alias tidak mengapa. Dalam hal ini MUI menggunakan kaidah fiqh “Ad-darurah tubihu al-mahzurat” yang artinya kemudaratan mengharuskan perkara-perkara yang diharamkan, makna mengharuskan di sini membolehkan apa yang tadinya haram tidak lagi dihukumi dosa, namun justru diharuskan untuk diambil demi menghindarkan mudharat yang lebih besar (wabah). Kaidah yang dipakai dalam hal ini adalah: Idhaa ta’aarodho dhororooni daf’u akhfahuma, jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan. Maka tidak salah jika bapak sekretaris komisi fatwa MUI kemudian justru menjadikan hukum imunisasi ini menjadi WAJIB.
Tentang darurat sendiri akan bersambung di tulisan berikutnya. In syaa Allaah.
Kenapa bersambung? Karena kalau panjang-panjang biasanya ga dibaca!

Sumber mila anasanti

Post a Comment

  • Silahkan tinggalkan pesan dengan menggunakan parse box tool untuk menambahkan style komentar.
    b untuk style font tebal ,um untuk style font miring ,u untuk style font garis bawah dst..
    Untuk memasukan gambar dan video yt masukan url lalu klik img atau yotube
  • Untuk menyampaikan expresi gunakan emoticon
  • Untuk mengupload gambar bisa menggunakan Upload img lalu salin link url dengan kode
    [img]url gambar[img]
  • Jangan lupa aktifkan notif me/Beri tahu saya pada kolom komentar agar mendapat email balasan komentar sobat
Show Parser Box
Show emo

b em u quote
pre code img youtube
embed
:)
=)
:(
:D
:v
;)
^_^
:(
(y)
;3

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel